Ini adalah kisah kakek tukang sol sepatu...
Dimana paper ini saya buat ketika membuat tugas Agama pada semester II...
PENGANTAR
Pengalaman bersama orang kecil adalah pengalaman hidup yang selalu mengesankan karena dari pengalaman tersebut, manusia bisa mengerti bagaimana situasi mereka orang kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari kesempatan itu, saya menemukan satu subyek orang kecil yang sudah lama sekali ingin saya temui, karena setiap kali sebelum lewat jalan pemuda, saya selalu melihat subyek itu. Subyek itu adalah kakek tukang sol sepatu.
Tukang sol sepatu adalah bagian pekerjaan yang sangat berjasa namun sering kali tidak diperhatikan oleh kita. Jerih payah mereka sangat dihargai oleh semua orang yang membutuhkan jasanya. Jasa itu adalah untuk alas kaki kita sehari-hari.
Kakek itu selalu mengundang hati saya untuk menyapa beliau, karena beliau selalu berada di pinggir jalan sehingga memudahkan saya menemuinya.
Kakek tua yang sehat itu bernama Musodikun.
Bapak Musodikun atau tepatnya kakek Musodikun, merupakan orang yang sudah renta yang lahir pada tahun 1918 dimana saat ini beliau berusia 90 tahun. Kulitnya hitam, rambutnya memutih, serta keriput-keriput kulit sudah sangat jelas terlihat namun mengherankan saya tatkala mengetahui usianya yang sudah sangat senja. Ciri-ciri tersebut menandakan bahwa beliau adalah seorang kakek, saya mengira beliau masih berumur kira-kira 70 tahun karena cara bicara beliau yang masih energik dan keras serta suaranya yang masih terdengar sangat jelas walaupun saya tahu gigi beliau sudah banyak yang ompong...luar biasa!!!!
Beliau selalu mangkal di pinghir jalan Argopuro setiap hari dari pukul 12.30 sampai 15.30, kecuali hari Jumat beliau istirahat di rumah, namun beruntung saya pada waktu itu hari Jumat, tanggal 13 Juni 2008 bisa menemui beliau. Hari itu beliau bekerja karena sudah berjanji dengan pesanan sepatu pelanggan lain yang mau dikerjakan.
Peralatan kerja kakek sangat sederhana yaitu berupa pikulan yang terdiri dari dua kotak seperti halnya tukang sol sepatu lain. Kotak sebelah kiri berisi sepatu-sepatu pelanggan yang ditinggal dengan topi dan payung bewarna biru. Kemudian kotak sebelah kanan berisi peralatan-peralatan untuk sol serta bekal air minum. Sebenarnya saya sudah membawakan beliau air minum, namun ternyata beliau sudah membawanya dari rumah malah saya yang ditawari untuk minum.
Saat muda dulu beliau bekerja sebagai Pegawai Negeri Departemen Agama yang selalu membawa tas jinjing dengan sepeda ontelnya, kelakar beliau sambil tertawa menceritakan hal itu kepada saya. Beliau pensiun tahun 1974 saat berumur 54 tahun dari pekerjaan beliau yang hanya menjadi pegawai dengan 8 orang anak, kehidupan beliau sangatlah sederhana.
Dulu rumah beliau berada di daerah Karang Rejo, namun karena saat itu sekitar tahun 1980, pemerintah membangun jalan tol serta kebetulan rumah beliau berada pada jalur proyek tersebut, terpaksa beliau meninggalkan rumah yang bertahun-tahun melindungi dari panas terik matahari dan guyuran hujan.
”Saya ngalah saja mas, itu kan untuk kepentingan pemerintah, kagem kepentingan umum” kata beliau yang mendapatkan ganti rugi sebesar 14,5 juta rupiah. Jumlah yang sangat banyak untuk ukuran tahun saat itu. Saat penggusuran untuk jalan tol, beliau ingin membeli rumah di sekitar daerah Karang Rejo namun harga yang ditawarkan sebesar 20 juta sehingga beliau tidak sanggup membelinya. Kemudian beliau mencari rumah di sekitar RS Ellisabeth dan beliau mendapat rumah di belakang Kasdam Santas Kodam milik Angkatan Darat.
Namun dibalik itu semua ada kebanggaan tersendiri yang beliau miliki, yaitu dua anaknya menjadi tentara dan yang satu menjadi prajurit angkatan laut.
”Saya sangat senang memiliki anak yang mengabdi kepada negara dan melindunginya.” kata kakek yang bahasa Indonesianya sangat lancar tidak seperti penampilannya yang sangat kental budaya Jawa.
”Lalu kakek di rumah tinggal bersama siapa?” tanya saya.
Kakek Musodikun terhening sejenak mengenang istrinya yang sudah meninggal.
”Dulu ya sama istri, saniki kalian anak. Anak kulo kerja di Binamarga.” jawabnya sambil tersenyum.
Saat itu kakek sedang mengerjakan 10 pasang sepatu. Jumlah yang sangat banyak untuk tukang sol sepatu keliling. Ketika saya bertanya,
”Kakek apa tidak capek mengerjakan sepatu sebanyak itu?”
”Ini semua sudah jadi, tinggal diambil sama yang punya.” tegas kakek.
Ternyata kakek juga mengerjakan sepatu pelanggan yang ditinggal untuk dicicil di rumah. Kakek pun malu-malu ketika menjawab soal penghasilan yang diperoleh setiap hari dan hanya menjawab tidak tentu. Saya menghitung karena kakek mematok tarif untuk sepasang sepatu atau sendal yang dikerjakan upahnya sekitar Rp. 8.000,00 sampai Rp. 10.000,00 dan pada saat bersamaan ada 10 pasang sepatu berarti pendapatan kakek untuk hari itu minimal Rp. 80.000,00 jumlah yang sangat banyak untuk tukang sol sepatu karena jam kerjanya yang juga singkat yaitu hanya tiga jam (12.30 WIB – 15.30 WIB) dibandingkan dengan tukang sol sepatu lainnya yang berkeliling seharian dan belum tentu mendapatkan pelanggan. Ketika sepatu saya sudah selesai dikerjakan dan berbincang-bincang dengan kakek. Tiba-tiba datang mobil sedan mewah yang dimiliki oleh wanita seumuran dengan saya, dia membawa 4 pasang sepatu, tanpa basa-basi lalu cewek itu memberikan kakek uang sebesar Rp. 40.000,00 dan langsung pergi . . . seolah-olah dia sudah menjadi langganan dan hafal berapa besar jumlah biaya sepatunya. Namun yang saya sayangkan, mengapa cewek itu cuek sekali? Seolah-olah tidak ada basa-basi sedikitpun. Inikah sikap anak muda Indonesia saat ini terhadap orang tua terlebih lagi terhadap orang yang kekurangan. (Bagaimana dengan sikap saya sendiri? Hmm...saya masih berusaha keras belajar untuk menghormati dan menghargai semua orang.Amin)
10 menit kemudian datang lagi mobil tipe SUV namun terlihat penumpangnya merupakan para sales sebuah operator jaringan selular CDMA. Turun seorang cewek dari mobil itu, dia menyapa kakek dan menanyakan kabarnya. Kakek pun tidak menjawab sapaan cewek itu namun bergegas mengambilkan pesanan cewek sales tadi yaitu 2 pasang sepatu lalu cewek tadi membayarnya dan langsung segera pergi. Tak lama kemudian datang Pak Andre, tetangga atau pemilik salah satu rumah di sekitar jalan Argopuro yang membawa sepatu hitam milik anaknya untuk dijahit dan di lem. Saat itu saya juga berbincang dengan Pak Andre, beliau orangnya harmonis walaupun dengan orang asing yang baru bertemu. Saya sempat bercanda dengan Pak Andre untuk mengerjakan sepatu yang dibawanya, tapi entah mengapa saya terkejut kakek mengijinkan saya mengerjakan sepatu itu namun dengan syarat hanya memberikan lem saja, tidak untuk menjahit. Saya mencoba mengerjakan sepatu itu setelah selesai diketahui hasilnya cukup baik. Pak Andre pun puas (mungkin karena orang tua jadi bisa menerima apa adanya pekerjaan saya walaupun beliau tahu pekerjaan saya tidak sebaik hasil kakek Musodikun). Sambil tersenyum Pak Andre pun membawa pulang sepatu anaknya yang sudah selesai dikerjakan. Lalu saya kembali menemani kakek mengerjakan sepatu pelanggan dengan bercanda.
Walaupun waktu terasa singkat sekali, namun ada satu hal yang disampaikan kakek kepada saya dengan tegas dan tatapan tajam. Beliau menepuk pundak saya dan bertanya umur saya saat ini. Lalu dengan cepat saya menjawab,
”Baru 18 tahun kek. Ada sesuatu kek?”
“Mau tahu rahasia hidup?” jawab dan tanya kakek.
Sejenak saya memperhatikan kakek, terdiam lalu menepuk pundak saya sekali lagi dan berkata,
“Urip wonten donya niku kudu sabar. Sabar dalam segala hal, sabar dalam segala tindakan!” katanya dengan tegas kepada saya.
Saya kembali menanyakan apa arti kata-kata kakek yang tiba-tiba berkata seperti itu kepada saya, lalu beliau menjelaskan sambil bercerita. Beliau mengumpamakan, motor kendaraan kalau di gas seperti balapan maka motor akan cepat rusak begitu juga hidup. Hidup adalah pemberian Tuhan. Manusia selalu berkewajiban untuk selalu sabar, karena hal itulah yang menjadi kunci segala hal.
Emosi selalu dapat dikendalikan dengan sabar.
Hawa nafsu juga dapat dikendalikan dengan sabar.
Menantikan hasil jerih payah juga harus dengan sabar.
Meminta sesuatu kepada Tuhan juga harus sabar.
Semuanya bagi beliau hidup adalah terus belajar dengan kata sabar, begitu beliau mengajarkan kepada saya. Saat itu saya masih terdiam tidak percaya ketika sebelumnya percakapan diselingi canda namun tiba-tiba menjadi sangat serius dan sangat dalam. Beliau yang menurut saya sudah banyak sekali merasakan pahit-manisnya dunia ini berkata seperti itu kepada saya.
Seketika itu juga pembicaraan menjadi sangat kaku dan sensitif, namun saya sangat bersyukur dapat mendengar hal itu. Karena pembicaraan masih sangat kaku, saya menyakan kepada beliau mengapa sudah tua masih bekerja sebagai tukang sol. Beliau hanya menjawab daripada hanya merepotkan anak di rumah, lebih baik dia bekerja, toh juga tidak lama waktunya, hanya 3 jam. Namun beliau lagi-lagi berkata untuk latihan menjadi sabar. Hal ini membuat saya bertanya dalam hati, apakah beliau sedang mengalami gejolak batin yang begitu hebat sehingga beliau menyampaikan hal itu kepada saya, orang yang baru saja dikenal. Kejujuran dan keluguan kakek sangat saya hargai. Dihari tuanya beliau hanya mempunyai satu harapan yaitu kedua anaknya yang terakhir agar cepat menikah karena beliau sudah sangat renta. Saya pun mengamini kata-kata beliau. Sungguh dalam sekali kata-kata yang terlontar dari pembicaraan kami, sehingga saya tidak enak melanjutkan dan membicarakan hal itu. Terlalu baik beliau kepada saya, kata-katanya bijak dan tegas. Saya sangat bersyukur mendapat pengalaman seperti ini.
KESIMPULAN
Orang-orang kecil bagi saya bukan berarti mereka yang tidak mendapatkan sesuatu yang sama seperti orang yang berkecukupan. Namun, mereka adalah orang besar yang mempunyai kehidupan jauh lebih keras dan bermakna dibanding yang berkecukupan. Hanya jalan mereka saja yang berbeda dari kita. Dari pengalaman saya membuktikan bahwa perjuangan seorang renta yang tidak mengenal kata lelah dengan terus belajar, belajar, dan belajar untuk bisa bersabar. Kakek Musodikun adalah segelintir orang kecil yang mau membagikan kebahagiaan, curahan hati, canda, dan pelajarannya bagi saya. Kata-kata beliau seolah-olah menunjukkan kepada saya, bahwa hidup itu sepertinya mudah jika rasa sabar itu setiap hari selalu diolah untuk bisa menjadi lebih besar lagi.
Pengalaman dengan beliau sangat sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin suatu saat nanti saya akan menemui beliau lagi tentunya saya harus mencari sepatu saya yang rusak. Hal ini menjadikan rema hidup saya saat ini bukan dari teori ataupun buku-buku, namun dari pengalaman hidup saya. Salah satunya pengalaman dengan Tukang Sol Sepatu.
Terima kasih kepada suster yang meberikan tugas ini, walaupun pengalaman seperti ini bukan untuk pertama kali,...kedua kali,...ataupun ketiga kali bagi saya. Namun bersama Tukang Sol Sepatu yang renta itu hidup ini menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Be Patience . . . Keep On Fire . . . Jesus Blees You. Amin
Musodikun’s Gallery
Gambar 1. Kakek mengerjakan Sepatu saya
Gambar 2. Kakek Menjahit Sepatu Pelanggan
Gambar 3. Order Sepatu Untuk Hari Itu
Kamis, 27 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar